PMAG Inisiasi Petisi 100 Tolak Proses Amdal Khlor Alkali dan Dorong Payung Hukum Bencana Non Alam

PMAG Inisiasi Petisi 100 Tolak Proses Amdal Khlor Alkali dan Dorong Payung Hukum Bencana Non Alam

Surat Petisi 100 terkait penolakan proses amdal pabrik Khlor Alkali di Warnasari, Citangkil. (bantenesia.id/Agh)

BANTENESIA.ID, CILEGON – Persatuan Masyarakat Asli Gusuran (PMAG) menginisiasi terbitnya Petisi 100 terkait penolakan proses Amdal pembangunan pabrik khlor alkali yang berlokasi di Warnasari, Citangkil, Cilegon.

Petisi penolakan Amdal ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan pejabat pusat lainnya. Dalam surat tersebut menyatakan penolakan yang didasarkan kepada fakta bahwa proses Amdal tersebut tidak melibatkan masyarakat setempat, yang mana merupakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan Lingkungan Hidup yang berlaku di Indonesia (Perman LH No 16 Tahun 2016 dan Permen LH Nomor 25 Tahun 2009). Pelibatan masyarakat dalam proses amdal sangat penting, untuk memastikan bahwa seluruh pihak yang terdampak dapat memberikan masukan dan turut serta dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi lingkungan sekitar.

Insiator Petisi 100 sekaligus tokoh pergerakan PMAG Ust Sunardi mengatakan, dikeluarkannya Petisi 100 penolakan proses amdal pabrik kimia Khlor Alkali berdasarkan pada pengalaman terjadinya bencana non alam akibat keteledoran manusia (human error) atau alasan lainnya hingga mengakibatkan ratusan warga Kota Cilegon dilarikan ke pusat layanan kesehatan masyarakat setempat atau Puskesmas.

Artikel terkait

Atas dasar itulah, PMAG bersama para aktivis mendorong diterbitkannya Peraturan Daerah terkait perlindungan terhadap masyarakat akibat terjadinya bencana non alam.

"Ini sedang kita dorong. Kemudian, terkait pentingnya perda perlindungan keselamatan terhadap orang banyak adalah harus berdasarkan perundang-undangan, apakah berbentuk Perwal maupun Perda, atau apapun itu namanya, ini penting untuk kita," ucap Sunardi kepada bantenesia.id, belum lama ini.

Selain itu kata dia, pemerintah daerah dalam hal ini bersama-sama aktivis harus membentuk sebuah badan atau lembaga, dimana nantinya lembaga tersebut berfungsi sebagai penyambung lidah, baik dengan industri maupun pemerintah daerah, dalam hal pengawasan, pengamatan dan dalam hal lainnya

Lembaga yang dibentuk itu selain memberikan informasi, tidak kalah pentingnya memberikan edukasi, pemahaman kepada anak-anak didik mulai dari tingkat TK, SD, SMP, SMU/Sederajat sampai dengan Perguruan Tinggi.

"Ini harus diajarkan. Perlu dieritahukan kepada mereka bahwa daerah kita adalah daerah industri.  Daerah yang memiliki banyak pabrik kimia yang efeknya begini dan jika terjadi bencana harus begitu. Itu yang pertama," terang Sunardi.

Kedua lanjut Sunardi, infomasi dan komunikasi terhadap masyarakat, lingkungan terdekat, terutama lingkungan terjauh juga tidak kalah pentingnya. Karena efek daripada kimia tersebut bergantung kepada alam. Bagaimana ketika terjadi bencana ledakan ataupun kebocoran pada musim hujan, bagaimana jika angin berhembus dari arah laut ke daratan, berapa luasan wilayah yang akan terdampak, berapa kilometer, dan apa yang harus dilakukan, pemahanan seperti ini harus disampaikan kepada masyarakat.

"Apa yang disiapkan ketika bencana terjadi, apakah perlu disiapkannya masker, masker yang bagaimana?, harus menggunakan masker yang begini, siapa yang menyediakan, industrikah atau pemerintah daerahkah, atau masing-masing masyarakat. Ini berdasarkan pada pengalaman lalu, karena kita tidak tahu kapan terjadinya," jelas Sunardi.

Jika yang bertanggungjawab itu industri kata Sunardi, industri yang mana, apakah semua industri yang ada diwilayah tersebut terlibat dalam pertanggungjawaban itu, atau hanya di wajibkan pada industri kimia saja. Tetapi yang jelas harus dibuatkan aturannya yang jelas dan berpihak kepada masyarakat.

"Harus jelas siapa pelaksananya, jika  pemerintah sendiri itu yang melaksanakan itu, silahkan. Atau memang industri yang siap untuk melaksanakan itu, ya silahkan," tutur Sunardi.

Selain itu, pentingnya juga diadakan komunikasi. Siapa yang mengkomunikasikan, tentu yang memiliki disiplin ilmunya. Tidak semua teman-teman yang ada Dinas LH itu mengerti secara khusus inti dengan permasalahan itu.

"Ini yang sedang coba kita dorong. Nanti akan ada yang dilakukan petisi 100, kalau ini sudah jelas bahwa siapa yang bertanggungjawab, bekerjasama dengan lembaga apa. Yang paling memicu diterbitkannya Petisi 100 adalah terjadinya peristiwa bencana yang belum lama terjadi," terang Sunardi.

Oleh sebab itu, gerakan petisi 100, selain menolak proses amdal pabrik Khlor Alkalk, fokus terhadap terbentuknya payung hukum terkait penyelamatan perlindungan masyarakat akibat bencana non alam.

"Insya allah kita juga akan mengadakan seminar, mengundang ahlinya dari jakarta, jawa timur, dari kementerian kita undang. Audiennya, kita harapkan pemerintah daerah harus mendukung dalam arti bisa menghadirkan semua industri yang ada. Tidak kalah pentingnya lembaga-lembaga pendidikan seperti kepala sekolah, praktisi pendidikaProses  lainnya," tutup Sunardi.

Karena itu dia meminta PT Chandra Asri selaku pemrakarsa menunda proses amdal dan lainnya, agar tahapan itu menghindari kesalah fahaman yang terjadi seperti saat ini. PMAG yang coba melibatkan diri dalam masalah kemasyarakan berharap, pihak CAA menunda agar ada kebulatan, kesepahaman terkait hal hal SDM, Lingkungan dan keselamatan.

"Menunda di sini, kita harus mulai bicara tegak dan tegas, menunda itu berhenti sampai ketemu titik, sebelum terbit amdal yang sebenarnya," tandas Sunardi.

Sunardi juga menyampaikan tidak ingin masyarakat Cilegon dikatakan menolak keberadaan pembangunan pabrik tersebut. Akan tetapi bagaimana pembahasan amdal terbuka, karena harapan masyarakat jangan sampai dampak negatifnya terjadi seperti peristiwa yang terjadi belum lama ini.

(Agh/01)














Lebih baru Lebih lama