Bantenesia.id

Di Haul ke-131, Wapres RI Sebut Syekh Nawawi Al-Bantani sebagai Transmitter Para Ulama

Wapres RI Ma'ruf Amin saat memberikan sambutan di acara khaul Syeh Asnawi Al-Bantani. (wapresri.go.id).

BANTENESIA.ID, BANTEN – Syekh Nawawi Al-Bantani, pemilik nama lengkap Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi bin Ali bin Jamad bin Janta bin Masbuqil Al-Bantani Al-Jawi merupakan salah satu ulama ternama di tanah air yang lahir di sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa (dulu, sekarang Kecamatan Tanara), Kabupaten Serang, Banten pada tahun 1230 Hijriyah atau 1815 Masehi.

Melansir laman wapresri.go.id, Syeh Asnawi dikenal sebagai sosok ulama yang kaya akan ilmu pengetahuan dan mampu menuangkan pemahamannya ke dalam berbagai karya. Hal inilah yang menjadikannya tidak hanyak dikenal di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara, terutama di negara-negara Timur Tengah. Selain itu, banyak dari karyanya yang sampai saat ini masih dijadikan sebagai sumber rujukan, bahan penelitian, dan lain sebagainya.

“Dan karangannya ada yang dijadikan bahan-bahan tesis. Artinya itu untuk mendapatkan gelar sarjana S2, salah seorang anak kita membuat tesis S2 di Kanada mengomentari tentang pemahaman Tasawuf Syekh Nawawi,” ujar Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin pada acara Haul ke-131 Syekh Nawawi Al-Bantani yang berlangsung di Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara, Serang, Banten, Jumat malam (03/05/2024).

Lebih lanjut, Wapres menekankan tentang peran Ulama yang wafat di Mekah pada tanggal 25 Syawal 1314 Hijriyah atau 1897 Masehi ini sebagai transmitter. Menurutnya, Syekh Nawawi merupakan penyambung maksud dan pemahaman para ulama, agar tidak terjadi kesalahpahaman.

“Transmitter itu penyambung, dari ulama-ulama terdahulu kepada ulama berikutnya. Beliau [berperan] sebagai penyambung sehingga tidak terjadi kesalahpahaman atau juga bisa memahami secara salah apa yang diucapkan oleh para ulama terdahulu itu, melalui syarah-syarah Beliau,” jelasnya.

Wapres pun menganalogikan peran Syekh Nawawi sebagai seorang transmitter, yakni transmisi yang menjadi penyambung arus listrik sebelum akhirnya sampai pada gardu listrik. Tanpa keberadaan transmisi, arus listrik yang tidak teratur dapat menyebabkan kebakaran di gardu listrik. Analogi tersebut selaras dengan peran Syekh Nawawi sebagai penyambung pemahaman para ulama.

“Ilmu-ilmu besar para ulama kalau tidak ditransmisi, itu nanti bisa salah paham. Karena itu banyak orang tidak memahami apa yang disampaikan oleh para ulama terdahulu sehinga kadang-kadang menghujat ulama terdahulu karena tidak paham,” tuturnya.

Salah satu bentuk upaya menyambung pemahaman para ulama yang dilakukan oleh Syekh Nawawi, ungkap Wapres, adalah menerangkan isyarat penyerahan diri dalam Ilmu Tasawuf. Penyerahan yang dimaksud bukanlah penyerahan secara lahir, melainkan penyerahan diri secara bathin.

“Syekh Nawawi mengatakan, yang dimaksud bukan penyerahan secara lahir, sehingga tidak berbuat apa-apa. Yang dimaksud okeh para tasawuf itu penyerahan secara bathinnya, sehingga tidak menimbulkan dia menjadi orang yang tidak mengerjakan apa-apa, kemudian menyerah saja,” papar Wapres
“Secara lahir dia ikhrtiar, tapi secara bathin dia pasrah kepada Allah SWT,” tambahnya.

Wapres juga menyebutkan peran trasmitter Syekh Nawawi lainnya, yakni mengenai ayat al-Quran yang menghimbau orang-orang untuk bersiap-siap menghadapi perang. Syekh Nawawi menafsirkan perang sebagai bahaya, sehingga apa pun yang dinilai sebagai bahaya perlu diwaspadai, seperti halnya ancaman kesehatan dari wabah Covid-19 beberapa tahun yang lalu.

“Ayat ini juga menunjukkan wajibnya kita bersiap diri, berantisipasi terhadap setiap bahaya yang diduga akan datang,” jelasnya.

Berdasarkan pemikiran tersebut, Wapres menegaskan, berobat, menghindari dari wabah penyakit, (seperti dengan mengikuti vaksinasi) serta menghindari tembok yang miring adalah sebuah kewajiban.

Terakhir, Wapres menyebutkan upaya Syekh Nawawi dalam menyambung pemahaman para ulama lainnya adalah terkait tafsir Ibnu Athaillah mengenai ketidakseimbangan manusia dalam mencari rezeki dan beribadah. Bahwa manusia berusaha terhadap sesuatu yang sudah dijamin oleh Allah, yakni rezeki. Namun di satu sisi, manusia lupa akan apa yang menjadi hak Allah, yaitu ibadah. Sikap ini menjadi pertanda bahwa mata hati seseorang telah tertutup atau buta.

“Jadi orang yang dia bersungguh-sungguh dalam soal mencari rezeki, hal yang dijamin oleh Allah, tapi dia lalai terhadap apa yang dituntut oleh Allah, itu menunjukkan bahwa mata hatinya sudah buta,” jelas Wapres.

Adapun mencari rezeki, berdasarkan pemahaman Syekh Nawawi, kata Wapres, jika dilakukan dengan tetap menjaga hak-hak Allah, tidak mengabaikannya, dan menjalankan kewajibannya, maka tindakan tersebut bukanlah ciri bahwa mata hati seseorang telah mati, melainkan menjadi jihad akbar (besar) dari seorang hamba.

Turut menghadiri acara haul Syekh Nawawi al-Bantani kali ini antara lain Penjabat (PJ) Gubernur Banten Almuktabat, Kepala Kejaksaan Tinggi Didik Farkhan Alisyahdi, serta K.H. Muhammad Abdurrahman Al-Kautsar. ***

Lebih baru Lebih lama