Fikri Habibi, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsera
BANTENESIA.ID, CILEGON – Bukan fenomena baru bagi politisi untuk memanfaatkan suara birokrasi dalam pemilu. Hal itu karena anggapan patron klien (bentuk relasi yang menguntungkan kedua belah pihak) dalam konteks tertentu, dimana politisi lebih dominan memanfaatkan birokrasi.
Padahal saat ini, birokrasi memiliki posisi yang sejajar, atau bisa mengatur politisi dengan daya tawar yang dimilikinya. Birokrasi sebagai pemegang anggaran dan yang memiliki wewenang. Sementara politisi, belum bisa berbuat banyak jika belum menduduki kursi jabatannya.
"Dengan kekuatan wewenang, program dan masa yang dimiliki seperti jumlah ASN dan honorer, itu bisa jadi daya tawar yang cukup lumayan. Kita tidak bisa menyalahkan honorer karena itu masa depannya." ujar Fikri Habibi, selaku pengamat politik yang juga Dosen Fisip di Universtas Serang Raya (Unsera).
Karena itu, Bawaslu perlu merubah cara pengawasannya yang tidak hanya mengontrol politisi, melainkan juga diarahkan terhadap aktivitas-aktivitas ASN. Bawaslu jangan hanya beranggapan bahwa patron klien politisilah yang membuat biroktasi tidak netral.
"Tentu tidak, hari ini birokrasinya juga membuat dirinya sendiri menjadi tidak netral." tuturnya.
Jika dilihat level mana yang paling dominan dalam memainkan peranan itu, tentu semakin tinggi jabatan, maka tingkat politisnya semakin tinggi, seperti level eselon II. Meskipun jabatan tersebut merupakan jabatan karir, namun penuh nuansa politik yang bergantung pada keinginan kepala daerah dan lain sebagainya.
"Semakin tinggi jabatan, maka semakin tinggi tingkat politisasi atau mempolitisasi dirinya sendiri untuk menaikan burgening karirnya ke depan." tutup Fikri.
(Agh/01)