BANTENESIA.ID, JAKARTA – DPR RI resmi mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang, pada Selasa (21/3) kemarin.
Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023 di Gedung DPR Senayan, Jakarta Pusat.
Dipimpin Ketua DPR, Puan Maharani, rapat tersebut dihadiri 380 anggota juga Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai perwakilan pemerintah. Keputusan diambil dalam Rapat Paripurna ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023 di Gedung DPR Senayan, Jakarta Pusat.
Perppu cipta kerja mencegah persoalan menjadi luas dan kerentanan perekonomian global yang berdampak kepada perekonomian nasional, tentunya perlu kita hindari," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang mewakili Presiden Joko Widodo dalam menyampaikan pendapat akhir Pemerintah, melansir m.jppn.com.
Sebelumnya, Perppu Cipta Kerja telah dinilai bermasalah oleh beberapa elemen masyarakat hingga memicu unjuk rasa.
Sehari sebelum Perppu tersebut disahkan, ribuan mahasiswa dari setidaknya 15 kampus di Jabodetabek memenuhi Gedung DPR untuk menyatakan penolakan mereka.
Demonstrasi besar-besaran untuk menolak Perppu Cipta Kerja dan Penundaan Pemilu juga sempat dilakukan pada 28 Februari dan 14 Maret 2023.
Dalam orasinya, pihak aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menyuarakan alasan penolakan mereka.
"Banyak pasal-pasal di dalam Perppu Cipta Kerja yang tidak berpihak kepada rakyat," ucap salah seorang orator.
Yel-yel berbunyi "DPR tuli, anti demokrasi, DPR tuli, anti demokrasi, DPR tuli, anti demokrasi," juga dilontarkan para mahasiswa.
Tidak hanya mahasiswa, Perppu tersebut juga dinilai bermasalah oleh Partai Buruh.
Salah satu aspek yang di tentangnya adalah mengenai 'outsourcing' atau alih daya, di mana perusahaan bisa memilih untuk memperkerjakan orang-orang di luar perusahaannya sehingga nasib pekerjanya sendiri menjadi tak menentu.
Selain itu, kebijakan terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, baik di UU Cipta Kerja maupun di Perppu, juga tidak dibatasi, yang berarti pekerja bisa berstatus kontrak untuk selamanya.
Selama proses rapat paripurna, beberapa penolakan juga terjadi.
Fraksi Partai Demokrat, menyatakan penolakan mereka dengan melakukan interupsi terhadap pengesahan Perppu tersebut.
Hal ini turut juga dilakukan oleh Fraksi PKS, yang kemudian melakukan walk out.
Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai pengesahan tersebut "melanggar Konstitusi."
YLBHI mengatakan bahwa pemerintah telah menghilangkan objek Putusan MK No. 91/PUU-XVII/2020 tentang perbaikan terhadap pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja.
"Hal lain yang paling serius adalah Presiden dan DPR tidak memberikan ruang partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) kembali kepada masyarakat secara maksimal," isi pernyataan YLBHI, dikutip dari m.jppn.com.
Selain itu, YLBHI juga menganggap Pemerintah dan DPR telah ditundukkan oleh oligarki dengan keberadaan aturan ini.
Secara muatan materi tidak satu pun pasal-per pasal dari Perppu Cipta Kerja menguntungkan masyarakat kecil seperti buruh, petani, masyarakat adat, nelayan serta elemen masyarakat lainnya," bunyi pernyataannya.
Aturan ini secara ambisius ditujukan hanya memberikan jalan mulus bagi oligarki untuk mengeksploitasi lingkungan hidup, keringat buruh, tanah, hutan, pesisir serta pulau-pulau kecil dan sektor-sektor sumber daya lainnya."
Berbekal alasan-alasan ini, YLBHI mendesak Presiden dan DPR untuk membatalkan pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi UU.
Selain itu, mereka juga mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk "menggelorakan penolakan-penolakan terhadap kesewenang-wenangan Pemerintah dan DPR yang menghina konstitusi."