Ramai Statemen Penolakan Gereja di Cilegon, Nawawi S : Pahami Sejarahnya

Dok : Aksi di Gedung DPRD Cilegon


BANTENESIA.ID, CILEGON – Tokoh masyarakat Kota Cilegon Nawawi Sahim angkat bicara terkait banyaknya statemen liar terkait penolakan rencana pembangunan Gereja di Cilegon. Dimana hal tersebut justru membuat gaduh masyarakat Cilegon.

"Mereka yang berbicara itu harusnya memahami dulu latar belakang persoalannya biar tidak ngaco. Kalau berbicara soal Cilegon, ya harus tahu Kaffahnya Kota Cilegon." ujar Nawawi, Minggu (11/9/2022).

Menurutnya, komitmen tidak adanya tempat ibadah non muslim adalah komitmen penduduk Kota Cilegon dengan Pemerintah atas konsekuensi berdirinya pabrik baja yang sekarang bernama PT Krakatau Steel. 

Jika berbicara soal penolakan tempat ibadah sambung Nawawi, semua mengenyam pendidikan formal yang seharusnya membaca terlebih dahulu sejarah tentang kota Cilegon. Jika di Manokwari ada Kota Injil, di Cilegon pun ada Kota Santri.

Lebih lanjut dia menerangkan, pada tahun 1888 lahir sejarah Geger Cilegon karena umat Islam  dilarang mengumandangkan adzan menggunakan menara oleh Belanda sehingga para santri melakukan perlawanan dan terjadilah peperangan yang saat ini disebut Peristiwa Geger Cilegon.

Baca juga : Elemen Masyarakat Cilegon Tolak Rencana Pembangunan Gereja                       

"Jadi Kota Santri di Cilegon ada sebelum Negara Indonesia Merdeka. Disitulah permasalahan yang harus dipahami sebelum berkomentar ga jelas dan justru membuat gaduh." ujarnya.

Sementara dengan banyaknya industri saat ini, ditambah dengan kemajemukan masyarakat yang ada, itu merupakan buah proses dari toleransi. Sebelum berdirinya Pabrik Baja Trikora tahun 60 an, demi kemajuan negara republik Indonesia, terjadi kesepakatan antara penduduk cilegon dengan pemerintah agar tempat tinggal mereka direlokasi, dimana dilahan tersebut banyak pondok-pondok pesantren, penduduk dengan adat istiadat islami bahkan sumber mencari nafkah melaut dan bercocok  tanam rela mereka  ditinggalkan. 

"Leluhur kami siap dipindahkan demi kemajuan negara pada waktu itu. Silahkan kampung kami di bangun dengan syarat tidak boleh berdiri tempat ibadah non muslim, kecuali Masjid dan Mushola. Itu permintaan pendahulu kami para ulama, kiyai, santri dan lainnya atas konsekuensi berdirinya pabrik baja." ucapnya.

Lantaran adanya kekecewaan politik dan pabrik baja saat itu belum dibangun, maka tahun 70an hingga 1977 timbullah gestapu atau Gerakan PKI. Dan akhirnya, bukan hanya 4 kampung yang direlokasi untuk kepentingan negara, melainkan jauh lebih besar termasuk pondok pesantren Al-Khairiyah yang telah melahirkan kader-kader bangsa dari pondok pesantren tersebut.

Maka atas persetujuan para pendahulu dituangkan lah SK Bupati yang sebenarnya itu adalah embrio dari tahun 59-60an. Kemudian datang penduduk dari luar Kota seperti Batak, Padang, Jawa dan lainnya belum pernah ada persoalan rasis di Kota Cilegon. Karena penduduk Kota Cilegon memiliki toleransi yang tinggi. "Tidak ada non muslim yang diganggu ibadahnya, kan mereka sudah disiapkan di Kota Serang sesuai peruntukannya. Kami sudah tentram dengan situasi saat ini, kenapa sekarang harus dipaksakan."tuturnya. 

Puluhan tahun hidup berdampingan antar pendatang dan putra daerah meski putra daerah sendiri saat ini dikangkangi oleh pendatang. Yang bekerja dan jadi pejabat justru banyak pendatang. Ketimpangan angka pengangguran dan lainya tidak pernah terjadi keributan.

Karena itu kata Nawawi, seharusnya sadar bahwa ada Kearifan lokal yang harus dijaga sebagai amanat dari para leluhur, para ulama dan para kiyai yang menyatakan Kota Cilegon menjadi Kota Santri setelah peperangan Geger Cilegon. (Aghata).



Lebih baru Lebih lama